Sabtu, 18 Juli 2009

Ricardo Membayar Janjinya

Oleh Edith Tiller Osteyee

Ricardo merasa kecil hati. Kereta terakhir datang dan telah pergi, kesempatan untuk menyemir sepatu lebih banyak lagi malam ini telah lenyap. Ia masih perlu 20 centavos lagi untuk memberi persembahan gereja besok.

”Dua kali menyemir lagi akan memenuhi keperluan itu,” pikirnya sambil merogoh kantong dan mempermainkan uang logam di dalamnya. ”Tetapi di mana bisa ditemukan orang yang mau menyemir sepatu, pada malam selarut ini?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. ”Di Plaza,” ucapnya kepada diri sendiri. ”Aku akan mencoba mencarinya di Plaza. Di sana akan ada orang yang mau menyemir sepatu.”

Ricardo menggendong kotak semir sepatunya dan berjalan ke Plaza. Hari sudah malam, tidak banyak orang di sana. Kebanyakan anak-anak tukang semir sepatu sudah pulang. Hanya tinggal Carlos di pojok Plaza.

Langkah Ricardo terhenti melihat kawannya itu. ”Aku tidak boleh mengambil langganannya,” katanya dalam hati. Lalu ia berbalik dan berjalan ke arah berlawanan.

”Gedung bioskop,” pikir Ricardo, ”Jarang ada orang yang mau menyemir sepatu seusai nonton bioskop, tetapi siapa tahu malam ini...”

Dengan penuh harapan, Ricardo menuju gedung bioskop. Ketika ia belok di pojok jalan di mana gedung bioskop itu berada, dilihatnya Rafael ada di sana. Ia tak boleh mengambil langganan Rafael, maka Ricardo segera berbalik lagi. Namun Rafael melihatnya, ia berteriak memanggil, ”Kemarilah, Ricardo,” teriaknya. ”Aku mau pulang. Kalau kau mau, boleh kau pakai tempatku di sini.”

”Gracias,” sahut Ricardo. ”Aku masih harus mendapatkan 20 centavos lagi malam ini. Kalau tidak aku tidak akan punya uang untuk memberikan persembahan ke gereja besok.”

”Persembahan? Persembahan apa?” tanya Rafael.

”Apa kamu lupa?” jawab Ricardo, ”uang kita untuk para saudara angkat di Italia. Persembahan itu harus diserahkan besok, sehingga uang untuk menghidupi mereka dapat segera dikirim.”

”Oh itu!” kata Rafael. ”Kenapa gelisah? Kau punya uang untuk persembahan itu, bukan?”

”Ya,” jawab Ricardo. ”tetapi aku berjanji untuk untuk memberi satu peso setiap bulannya. Dan aku lupa hanya punya 80 centavos untuk diberikan besok. Aku membutuhkan 20 centavos lagi.”

”Seharusnya waktu itu kamu tak usah menyebutkan jumlahnya yang akan kau persembahkan,” kata Rafael. ”Sehingga kamu bisa pulang sekarang, dan persembahkan berapa saja sesukamu besok. Buenas noches.”

”Buenas noches,” sahut Ricardo. Setelah Rafael pergi, ia bertanya-tanya dalam hati benarkah ia telah terlampau banyak menjanjikan persembahan pada gereja setiap bulan untuk ”menolong seorang anak” di Italia? Sesaat ia merasa menyesal, mengapa waktu itu ia berjanji mempersembahkan sejumlah itu. Kalau tidak, ia tidak harus berjaga sampai selarut ini untuk mengumpulkan 20 centavos lagi. Ia sangat lelah dan ingin segera pulang.

Lalu Ricardo ingat kata-kata dalam surat yang dikirim oleh seorang anak laki-laki, kepada siapa ia mempersembahkan uangnya.

”Saya semakin sehat dan gembira,” tulis anak itu. ”Uangmu bisa menolong saya membeli makanan. Saya juga bisa bersekolah kini, karena dengan uangmu saya bisa membeli makanan. Saya ucapkan beribu-ribu terima kasih atas pemberianmu itu.”

”Tidak,” kata Ricardo kepada dirinya. ”Aku tak menyesali janjiku. Aku bahkan ingin memberi lebih dari yang kujanjikan.”

Tepat pada saat itu pintu bioskop terbuka. Ia segera pindah dan menunggu orang-orang yang keluar.

http://www.archives.gov/education/lessons/hine-photos/images/shoe-shine-parlor.gif


”Semir, Senor?” ia berseru kepada orang pertama yang muncul dari dalam. Tetapi orang itu sibuk berbicara dengan teman-temannya dan berlalu.

”Semir, Senor?” Ricardo mengulangi beberapa kali kepada setiap orang yang keluar. Tetapi mereka juga tidak mempedulikannya atau menggerakkan tangan, seakan-akan ingin menyingkirkannya.

”Semir, Senor?” Ricardo terus mengulangi tawarannya, sampai gedung bioskop kosong dan orang terakhir berlalu.

Tepat seperti yang diperkirakan Ricardo. Tidak ada orang yang ingin disemir sepatunya malam ini. Ia sebaiknya pulang saja.

Dengan sedih dijinjingnya kotak semir sepatunya dan mulai melangkah di jalan yang sepi, memandangi kerikil dan batu jalanan. Tiba-tiba kakinya menendang benda lain. Ricardo berhenti untuk memungutnya dan melihat benda itu adalah sebuah dompet., cukup banyak uang di dalamnya.

”Uang,” ucapnya keras-keras. ”Uang untuk persembahan gereja besok.”

Kemudian ia ingat bahwa dompet itu bukan miliknya walaupun dialah yang menemukannya. Ia harus mencari siapa pemiliknya, agar dompet itu bisa kembali ke pemiliknya.

Ricardo mencari di bagian dompet bertuliskan ”kartu”. Di sana ia menemukan nama dan alamat pemilik pada sebuah kartu. Ia tahu daerah di mana orang ini tinggal. Tetapi malam telah larut, terlampau malam untuk mengembalikannya malam ini, pikirnya.

”Tetapi pemiliknya gelisah memikirkan kehilangan ini. Aku harus mengembalikannya malam ini juga.”

Dengan keputusan seperti ini, Ricardo mulai melangkahkan kaki ke arah alamat yang tertera dalam kartu. Beberapa saat menjelang sampai, dalam kegelapan malam, ia berpikir apakah sebaiknya ia pulang atau kembali lagi besok pagi. Kembali ia memutuskan untuk mengembalikan dompet itu sekarang juga.

Ricardo menekan bel pada sebuah pintu pagar. Sebuah kepala muncul dari jendela, dan terdengar suara ”Siapa itu? Ada perlu apa?”

”Apakah Senor Sanchez tinggal di sini?” tanya Ricardo. ”Senor Roberto Sanchez?”

”Ya,” jawab suara tadi.

”Saya datang untuk mengembalikan dompetnya,” kata Ricardo.

Beberapa saat kemudian muncul seorang laki-laki yang kemudian membukakan pintu pagar.

”Akulah Senor Sanchez,” katanya. ”Katamu kamu telah menemukan dompetku? Aku pikir dompet itu dicuri orang.”

”Ini dompet itu, Senor.” Ricardo menyerahkan dompet itu ke tangan pemiliknya dan berbalik hendak pergi.

”Tunggu sebentar,” kata Senor Sanchez. Lalu sambil memberi selembar uang kepada Ricardo, ia menambahkan, ”Ini untukmu, karena telah mengembalikan dompet itu kepadaku.”

”Tetapi Senor,” Ricardo menolak, ”Memang seharusnya saya mengembalikan dompet itu kepada Anda.”

”Namun ada banyak orang yang tidak mau melakukannya seperti kamu,” kata Senor Sanchez. ”Lagi pula, kamu sudah berbaik hati mau berjalan kaki mengantarkan dompetku.”

”Gracias! Muchas gracias,” ucap Ricardo.

Sementara itu Senor Sanchez melihat kotak semir sepatu yang dijinjing Ricardo.

”Apakah terlampau malam kalau aku minta disemirkan sepatu?” ia bertanya.

”Tidak, tidak, Senor,” jawab Ricardo. Cepat-cepat diletakkannya kotak itu dan menempatkan sepatu Senor Sanchez di atasnya. Lalu ia membersihkan dengan lap. Ia buka kaleng semir. Tangan kanannya bergerak cepat sewaktu mencolek semir sepatu. Kemudian dengan dua tangan Ricardo menggosoknya dengan lap. Sekeliling hak sepatu, di ujung, di sisi-sisinya. Ini dilakukannya berkali-kali, sampai ia puas melihat sepatu itu mengkilat. Sesudah itu, ia mulai lagi pekerjaan yang sama untuk sepatu yang berikutnya.

Senor Sanchez memperhatikan setiap gerak Ricardo. Ia tampak puas melihat cara anak itu bekerja.

”Kamu sudah sering menyemir sepatu?” dia bertanya untuk membuka percakapan.

”Ya.” jawab Ricardo. ”Begitu seringnya, sehingga saya lupa sudah berapa kali.”

”Engkau bekerja dengan baik,” kata Senor Sanchez berusaha menyelipkan uang logam ke tangannya.

”Tidak, jangan,” kata Ricardo. ”Anda sudah membayar lebih banyak dari yang seharusnya.”

”Kamus salah,” kata Senor Sanchez. ”Uang yang tadi itu untuk ongkos jalanmu kemari mengembalikan dompet. Uang ini untuk ongkos menyemir sepatu.” Dan ia memasukkan dua uang logam ke kantung baju Ricardo. ”Buenas noches,” katanya lagi sambil menutup pintu pagar.

”Gracias, Senor,” kata Ricardo. ”Buenas noches.”

Sambil berjalan, Ricardo melihat dua uang logam yang dikantunginya. ”Dua puluh centavos,” katanya dalam hati.

Lalu dikeluarkannya uang kertas yang diberikan Senor Sanchez. Ia melihatnya di bawah sinar lampu jalan. ”Satu peso.” katanya. ”Satu peso dan 20 centavos! Aku dapat memberikan persembahan lebih dari yang kujanjikan. Aku dapat memberikan 2 peso.”

Lupa akan lelahnya, Ricardo mulai berlari pulang. ***

Relung, No. 35/Th. VII, 12 – 18 Juli 2009. Dikutip dari Marion van Horne, Menjadi Penulis: Membina Jemaat yang Menulis, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar